close
TRIO4D

Kamis, 31 Agustus 2017

Soekarno Di Batas Korea Utara

BABE TB - Kami mendarat di Beijing dengan tergesa-gesa mengejar maskapai Air Koryo yang sedianya mengantar ke Pyongyang pada Sabtu siang 12 Agustus 2017.


Jadwal take off kami pukul 13.00 waktu setempat, namun karena terjebak di Hong Kong selama 9 jam akibat cuaca buruk, Air Koryo yang sedianya kami tumpangi keburu lepas landas. Air Koryo dan kami selisih sekitar 30 menit.

Setengah putus asa, saya dan Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa, menghubungi utusan pemerintah Democratic People's Republic of Korea yang menjemput di Bandara Beijing. 

Ternyata, mereka punya solusi. Setelah melewati pos imigrasi, kami bertemu dengan dua orang yang menjemput kami. Mereka mengarahkan kami untuk menumpang kereta Beijing-Pyongyang. Inilah jalan terbaik, karena esok harinya alias Minggu tidak ada penerbangan dari Beijing ke ibu kota Korea Utara itu. 

Segera kami memesan taksi, melewati jalanan Beijing yang padat dan macet meluncur ke Beijing Railway Station yang megah namun sesak calon penumpang. Sekitar pukul 16.00, kami berempat tiba di stasiun yang dibuka pada 1959 itu. 

Mr. Ri, salah seorang penjemput kami, mengurus segala keperluan tiket dengan cara tak biasa karena kami memang belum memesan tiket jauh hari sebelumnya. Maklum, akhir pekan itu banyak sekali orang yang akan bepergian ke luar Beijing dengan transportasi massal tersebut. Menurut Mr. Ri, ada jalur lain, yang saya sendiri tidak mau bertanya lebih lanjut bagaimana prosesnya dan kami pun pasrah menyerahkan paspor untuk kemudian dia bawa.

Setengah jam kemudian, tiket masuk kami pegang. Mr. Ri mengantar kami menuju peron dari sebuah kereta yang memiliki lambang negara Republik Rakyat Demokratik Korea pada tiap sisi gerbongnya. Perjuangan mencapai peron lumayan berat. Dari mulai pintu masuk stasiun ribuan manusia Tiongkok bedesak-desakan dan terkesan tidak teratur. Para petugas berwajib pun tampak minim, hanya ada di pos-pos tertentu. 

Saya dan Teguh Santosa masuk ke dalam kabin gerbong penumpang yang memiliki empat tempat tidur susun. Kelihatan sederhana namun sangat bersih. Semua sudah diatur Mr. Ri dan temannya, yang kata dia sudah biasa mengurus "tiket dadakan". Sebelumnya kami diberitahu, perjalanan Beijing-Pyongyang akan memakan waktu satu hari penuh alias 24 jam. Sesuatu yang tidak kami persiapkan sejak keberangkatan dari Jakarta. Namun, ini pengalaman yang langka dan bahkan pertama kali bagi Teguh yang setiap tahun ke Pyongyang sejak 2013. 

Kereta berjalan menjelang senja. Sebelum gelap datang, saya masih bisa melihat dari jendela kereta betapa pembangunan di kota-kota selain Beijing begitu apik, begitu pula stasiun-stasiun yang kami lewati. Awalnya saya prediksi akan sangat sulit untuk beristirahat sepanjang perjalanan, namun dugaan itu salah. 

Minggu siang, kami tiba di stasiun Dandong, kota perbatasan Tiongkok-Korea Utara di tepi Sungai Yalu atau Sungai Amnok (dalam bahasa Korea). Inilah tanda, kami sesaat lagi memasuki kawasan Korea Utara yang menurut pandangan umum adalah miskin, menderita kelaparan dan terisolasi dari dunia luar. Jujur saja, di sinilah perasaan saya, sebagai orang yang pertama kali berkunjung ke negeri sosialis itu campur aduk mengingat ragam stigma yang dilekatkan terhadapnya. Apalagi, kunjungan ini terjadi di tengah ketegangan antara Korea Utara dan Amerika Serikat sedang meninggi. Kabar ancaman Kim Jong Un melempar rudal ke Guam, sebuah wilayah AS di Pasifik, sedang jadi treding topic dunia. 

Kami diperintahkan turun di stasiun Dandong untuk menjalani pemeriksaan bea cukai China. Ini agak memakan waktu lama lagi-lagi karena antrian yang panjang dan pemeriksaan yang ketat. Kebanyakan dari penumpang adalah warga Pyongyang yang membawa barang-barang belanjaan dari China, mayoritas adalah makanan dan peralatan elektronik. Sebagian kecil lagi, para pelancong yang saya duga dari belahan dunia Barat. Saya bisa mengatakan mereka turis karena penampilan yang sangat santai dan dipandu guide. 

Selepas dari Dandong, tiga orang peneliti Korea Utara bergabung di kabin kami karena kamar mereka sebelumnya sudah "diambilalih" empat remaja Jepang yang mengaku ingin berwisata ke Pyongyang. Para peneliti ini baru saja bertugas 4 tahun di Guinea, Afrika Barat dan akan pulang untuk pertama kalinya ke kampung halaman.

Ketika berkenalan, kami menyebutkan negara asal. Mereka kompak langsung berseru, "Ah, Soekarno".

Kami pun melewati jembatan Sungai Amnok memasuki wilayah Kota Sinuiju, pintu masuk Korea Utara. Kereta kembali berhenti di stasiun, semua penumpang dilarang turun. Para petugas perbatasan Korea Utara merengsek masuk memeriksa teliti paspor semua penumpang termasuk setiap barang bawaan yang dibawa. 

"From Indonesia?" tanya seorang petugas pemeriksa. Kami menjawab pasti.

"Soekarno," ujar petugas itu dengan tersenyum ramah. Ya, kami menjawab bangga. 

Kebetulan, Teguh Santosa mengenakan pin merah putih berwajah Bung Karno di dada kiri. 

"Great Leader," ungkap petugas lainnya sambil memandangi pin tersebut. Saya menyaksikan sendiri beberapa tentara yang ada di sekitar petugas itu pun menyebut nama Bung Besar dengan mimik hormat. 

Teman-teman kami para peneliti Korea Utara yang baru bergabung di Dandong itu tersenyum menyaksikan "ulah" tentara mereka. 

Soekarno adalah sahabat dekat Kim Il Sung, sang pendiri Republik Rakyat Demokratik Korea sekaligus kakek dari pemimpin sekarang, Kim Jong Un. Mereka berdua mempunyai andil besar dalam membangun persahabatan dua negara.

Kunjungan Bung Karno ke Korea Utara pada November 1964 dibalas Presiden Kim Il Sung pada tahun 1965. Saat kunjungan balasan Kim Il Sung, Bung Karno memberikan bibit Anggrek di Kebun Raya Bogor, 13 April 1965. Bung Karno meminta agar bunga itu dinamai Kimilsungia.

Hingga kini, pemerintah Korea Utara menggelar pameran Kimilsungia setiap bulan April, yang puncaknya pada tanggal 15 April, yaitu hari kelahiran Kim Il Sung. Tapi, bunga Kimilsungia itu barulah sedikit potret dari cerita persahabatan dua pemimpin yang kharismatik tersebut. 

0 comments:

Posting Komentar